Monday 3 August 2015

Catatan Tommy Welly: Sinetron Seolah-olah (Untuk) Sepakbola

Towel: Sinetron Seolah-olah (untuk) Sepak Bola 
Negeri ini mengaku gandrung pada sepak bola. Passion-nya sepak bola. Atribut sepak bola akan sangat mudah ditemui dimana-mana. Maka makin yakinlah isi kepala masyarakat negeri ini bahwa olah raga nomor satu di negeri ini adalah sepak bola. Bahkan bisa dibilang cuma sepak bola. Seolah-olah cabang olah raga yang lain hanyalah figuran. Bukan pelakon utama. Rating dan share mutlak jadi kepunyaan sepak bola.

Meski bisa diperdebatkan, toh tetap ada benarnya pernyataan tadi. Bahkan seorang Menpora pun ikut terseret arus anggapan tersebut. Buktinya, sejak diangkat menjadi pembantu presiden, Menpora Imam Nahrawi  sibuk mengurusi sepak bola. Hampir tak ada isu lain yang disentuh Menpora RI ini kecuali sepak bola.

Persiapan SEA Games 2015 Singapura bahkan kurang terurus. Imbasnya kegagalan telak di pesta olah raga se-Asia Tenggara tersebut. Ranking Indonesia melorot ke posisi lima. Namun itu pun tak membuat Menpora bergeming. Sepak bola tetap jadi primadona bagi Nahrawi. Maka gagalnya Indonesia di SEA Games 2015, harus ditutupi dengan isu sepak bola pula. Alkisah muncullah isu pengaturan skor yang belakangan diketahui rekaman “seolah-olah” match fixing itu dibuat di kantor kemenpora sebagai pengalihan isu dari kegagalan kontingen Indonesia di SEA Games 2015 Singapura.

Maka benarlah bahwa dalam tujuh bulan terakhir, Imam Nahrawi-lah wajah utama dari persepakbolaan negeri ini. Lewat Tim Sembilan, BOPI dan tim transisi, Menpora larut dan masuk ke ranah teknis sepak bola yang seharusnya adalah wewenang dan wilayah PSSI. Dengan dalil ingin memperbaiki masa depan persepakbolaan Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya. Nahrawi menciptakan kegaduhan yang memporakporandakan bangunan persepakbolaan Indonesia.

Dengan kalimat-kalimat normatif khas birokrat, Nahrawi berulang kali mengulang-ulang kalimat “ajaibnya” seperti memperbaiki tata kelola sepak bola Indonesia. Lalu kompetisi yang transparan dan akuntabel. Kalimat-kalimat yang terdengar merdu di tataran teori namun hanya lips service semata. Karena kenyataannya justru berbanding terbalik. Perbaikan ala Menpora justru dilakukan dengan cara-cara yang berujung pada terhentinya kompetisi, dan keluarnya SK Pembekuan PSSI yang membuat PSSI sulit beraktifitas.

Maka ketika sanksi FIFA tak ayal turun untuk Indonesia karena intervensi pemerintah, makin jelas pula dalil-dalil luhur itu hanyalah retorika dan jauh panggang dari api. Kesannya Menpora berpihak pada sepak bola. Seolah-olah demi untuk perbaikan sepak bola. Padahal tak ada satupun kemajuan sepak bola yang tercipta sejak Menpora ikut-ikutan sibuk mengurus sepak bola. Sepak bola Indonesia justru dengan cara-cara yang ekstrim dilumpuhkan dengan sengaja.

Tak ada sedikit pun empati apalagi kesedihan yang terpancar di pihak Menpora ketika sanksi FIFA turun pada 30 Mei lalu. “Ya inilah konsekuensi, bagian dari upaya pembenahan sepak bola nasional,” ucap sang juru bicara Menpora dengan enteng dalam sebuah talkshow di stasiun televisi swasta menimpali tangisan bakat-bakat muda timnas U16 dan U19 yang tak bisa lagi bertanding dengan Garuda didada gara-gara sanksi FIFA untuk Indonesia.

Jadi inikah realitas Indonesia yang disebut-sebut mencintai sepak bola? Passion-nya sepak bola. Kegandrungan masyarakat-nya adalah sepak bola. Tidak ada yang salah dengan kecintaan Indonesia pada sepak bola. Tapi negeri ini (baca menpora) kurang memahami bagaimana caranya menyentuh dan membangun sepak bola. Atas nama kedaulatan negara, aturan dan hukum sepak bola diterabas. Dianggap sepi.

Gandrung Tapi Nrimo

Anehnya lagi, masyarakat yang katanya gandrung bola ini terkesan pasif ketika upaya Menpora dengan semangat seolah-olah untuk sepak bola itu ternyata merugikan mereka. Para pemain yang terpaksa tarkam, nyaris tak bersuara. Suporter loyalis pun,  masih melihat-lihat situasi ketika klub kesayangannya tak berkompetisi akibat ulah campur tangan pemerintah.

Semuanya seolah pasrah. Menikmati penderitaan sepak bola ini dengan santun. Nrimo. Sanksi FIFA dianggap hal biasa. Pesepakbola tak berkompetisi dan tidak berlatih intensif dalam enam bulan terakhir seolah bukan masalah. Padahal teori kepelatihan sepak bola menyebutkan, dalam 2 x 24 jam saja seorang pesepakbola tidak menjalani latihan intensif sesuai porsi, maka ia mengalami penurunan kemampuan.

Kalau kita paham ini semua, lalu kenapa kita malah berdiam diri. Bukankah kita adalah masyarakat yang sangat gandrung dengan sepak bola? Bukankah di hari-hari ini, kita seharusnya sama-sama berjuang mengupayakan agar sanksi FIFA itu segera dicabut?  Caranya hanya satu: Stop intervensi pemerintah!

Tapi kenapa kita seolah-olah santai dan acuh dengan sanksi FIFA itu? Sanksi yang membuat sepak bola Indonesia kehilangan hak-hak keanggotaannya. Timnas kita tak bisa bertanding. Klub-klub tak bisa bertanding di level internasional. Kita juga tidak mungkin mendapatkan bantuan FIFA Goal project yang berikutnya. Padahal sepanjang usia PSSI 85 tahun, Indonesia baru sekali saja menerima bantuan FIFA Goal Project berupa lapangan latihan sintetis/artificial di National Youth Training Centre Sawangan. Bandingkan dengan Brunei yang sudah dua kali mendapat bantuan FIFA Goal Project. Timor Leste sudah empat kali. Singapura malah sudah lima kali menerima bantuan fasilitas sepak bola itu. Belum lagi program pengembangan kualitas pelatih-pelatih kita yang tak mungkin meningkatkan kualitas ilmu kepelatihannya lewat kursus kepelatihan lisensi C,B dan A AFC.

Yang terjadi sekarang, alih-alih ingin segera mengakhiri sanksi FIFA, Menpora justru sibuk dengan tim transisi-nya. Putusan sela PTUN diabaikan. Bahkan sekarang, putusan akhir PTUN 14 Juli kemarin pun, naga-naganya bakal dibanding oleh pihak menpora. Prahara sepak bola sepertinya ingin diperpanjang sekaligus inilah indikasi sejak awal bahwa niatan memperbaiki sepak bola hanyalah alasan terselubung.

Buktinya meski melawan aturan sepak bola universal, Tim Transisi maju terus tanpa tedeng aling-aling hukum positif negeri ini. Seolah-olah demi kemajuan sepak bola, tim Transisi sedang mempersiapkan sebuah turnamen dengan judul  Piala Kemerdekaan yang sesungguhnya tak lebih dan tak kurang adalah turnamen kelas tarkam.

Nah jika sudah begini, kemana masyarakat kita yang katanya gandrung dengan sepak bola. Akankah sepak bola Indonesia ini terus diombang-ambingkan  oleh retorika kosong dalam episode sinetron yang seolah-olah (untuk) sepak bola!

Tommy Welly, pengamat sepakbola, tulisan ini dilansir juga dari Bola.com (29 Juli 2015). 

No comments:

Post a Comment