Negeri ini mengaku gandrung pada sepak bola. Passion-nya sepak bola.
Atribut sepak bola akan sangat mudah ditemui dimana-mana. Maka makin
yakinlah isi kepala masyarakat negeri ini bahwa olah raga nomor satu di
negeri ini adalah sepak bola. Bahkan bisa dibilang cuma sepak bola. Seolah-olah cabang olah raga yang lain hanyalah figuran. Bukan pelakon
utama. Rating dan share mutlak jadi kepunyaan sepak bola.
Meski bisa diperdebatkan, toh tetap ada benarnya pernyataan tadi. Bahkan
seorang Menpora pun ikut terseret arus anggapan tersebut. Buktinya,
sejak diangkat menjadi pembantu presiden, Menpora Imam Nahrawi sibuk
mengurusi sepak bola. Hampir tak ada isu lain yang disentuh Menpora RI
ini kecuali sepak bola.
Persiapan SEA Games 2015 Singapura bahkan kurang terurus. Imbasnya
kegagalan telak di pesta olah raga se-Asia Tenggara tersebut. Ranking
Indonesia melorot ke posisi lima. Namun itu pun tak membuat Menpora
bergeming. Sepak bola tetap jadi primadona bagi Nahrawi. Maka gagalnya
Indonesia di SEA Games 2015, harus ditutupi dengan isu sepak bola pula.
Alkisah muncullah isu pengaturan skor yang belakangan diketahui rekaman
“seolah-olah” match fixing itu dibuat di kantor kemenpora sebagai
pengalihan isu dari kegagalan kontingen Indonesia di SEA Games 2015
Singapura.
Maka benarlah bahwa dalam tujuh bulan terakhir, Imam Nahrawi-lah wajah
utama dari persepakbolaan negeri ini. Lewat Tim Sembilan, BOPI dan tim
transisi, Menpora larut dan masuk ke ranah teknis sepak bola yang
seharusnya adalah wewenang dan wilayah PSSI. Dengan dalil ingin
memperbaiki masa depan persepakbolaan Indonesia, yang terjadi justru
sebaliknya. Nahrawi menciptakan kegaduhan yang memporakporandakan
bangunan persepakbolaan Indonesia.
Dengan kalimat-kalimat normatif khas birokrat, Nahrawi berulang kali
mengulang-ulang kalimat “ajaibnya” seperti memperbaiki tata kelola sepak
bola Indonesia. Lalu kompetisi yang transparan dan akuntabel.
Kalimat-kalimat yang terdengar merdu di tataran teori namun hanya lips
service semata. Karena kenyataannya justru berbanding terbalik. Perbaikan ala Menpora justru dilakukan dengan cara-cara yang berujung
pada terhentinya kompetisi, dan keluarnya SK Pembekuan PSSI yang
membuat PSSI sulit beraktifitas.
Maka ketika sanksi FIFA tak ayal turun untuk Indonesia karena intervensi
pemerintah, makin jelas pula dalil-dalil luhur itu hanyalah retorika
dan jauh panggang dari api. Kesannya Menpora berpihak pada sepak bola.
Seolah-olah demi untuk perbaikan sepak bola. Padahal tak ada satupun
kemajuan sepak bola yang tercipta sejak Menpora ikut-ikutan sibuk
mengurus sepak bola. Sepak bola Indonesia justru dengan cara-cara yang
ekstrim dilumpuhkan dengan sengaja.
Tak ada sedikit pun empati apalagi kesedihan yang terpancar di pihak Menpora ketika sanksi FIFA turun pada 30 Mei lalu. “Ya inilah
konsekuensi, bagian dari upaya pembenahan sepak bola nasional,” ucap
sang juru bicara Menpora dengan enteng dalam sebuah talkshow di stasiun
televisi swasta menimpali tangisan bakat-bakat muda timnas U16 dan U19
yang tak bisa lagi bertanding dengan Garuda didada gara-gara sanksi FIFA
untuk Indonesia.
Jadi inikah realitas Indonesia yang disebut-sebut mencintai sepak bola?
Passion-nya sepak bola. Kegandrungan masyarakat-nya adalah sepak bola. Tidak ada yang salah dengan kecintaan Indonesia pada sepak bola. Tapi
negeri ini (baca menpora) kurang memahami bagaimana caranya menyentuh
dan membangun sepak bola. Atas nama kedaulatan negara, aturan dan hukum
sepak bola diterabas. Dianggap sepi.
Gandrung Tapi Nrimo
Anehnya lagi, masyarakat yang katanya gandrung bola ini terkesan pasif
ketika upaya Menpora dengan semangat seolah-olah untuk sepak bola itu
ternyata merugikan mereka. Para pemain yang terpaksa tarkam, nyaris tak
bersuara. Suporter loyalis pun, masih melihat-lihat situasi ketika klub
kesayangannya tak berkompetisi akibat ulah campur tangan pemerintah.
Semuanya seolah pasrah. Menikmati penderitaan sepak bola ini dengan
santun. Nrimo. Sanksi FIFA dianggap hal biasa. Pesepakbola tak
berkompetisi dan tidak berlatih intensif dalam enam bulan terakhir
seolah bukan masalah. Padahal teori kepelatihan sepak bola menyebutkan,
dalam 2 x 24 jam saja seorang pesepakbola tidak menjalani latihan
intensif sesuai porsi, maka ia mengalami penurunan kemampuan.
Kalau kita paham ini semua, lalu kenapa kita malah berdiam diri.
Bukankah kita adalah masyarakat yang sangat gandrung dengan sepak bola?
Bukankah di hari-hari ini, kita seharusnya sama-sama berjuang
mengupayakan agar sanksi FIFA itu segera dicabut? Caranya hanya satu:
Stop intervensi pemerintah!
Tapi kenapa kita seolah-olah santai dan acuh dengan sanksi FIFA itu?
Sanksi yang membuat sepak bola Indonesia kehilangan hak-hak
keanggotaannya. Timnas kita tak bisa bertanding. Klub-klub tak bisa
bertanding di level internasional. Kita juga tidak mungkin mendapatkan
bantuan FIFA Goal project yang berikutnya. Padahal sepanjang usia PSSI
85 tahun, Indonesia baru sekali saja menerima bantuan FIFA Goal Project
berupa lapangan latihan sintetis/artificial di National Youth Training
Centre Sawangan. Bandingkan dengan Brunei yang sudah dua kali mendapat
bantuan FIFA Goal Project. Timor Leste sudah empat kali. Singapura
malah sudah lima kali menerima bantuan fasilitas sepak bola itu. Belum
lagi program pengembangan kualitas pelatih-pelatih kita yang tak mungkin
meningkatkan kualitas ilmu kepelatihannya lewat kursus kepelatihan
lisensi C,B dan A AFC.
Yang terjadi sekarang, alih-alih ingin segera mengakhiri sanksi FIFA, Menpora justru sibuk dengan tim transisi-nya. Putusan sela PTUN
diabaikan. Bahkan sekarang, putusan akhir PTUN 14 Juli kemarin pun,
naga-naganya bakal dibanding oleh pihak menpora. Prahara sepak bola
sepertinya ingin diperpanjang sekaligus inilah indikasi sejak awal bahwa
niatan memperbaiki sepak bola hanyalah alasan terselubung.
Buktinya meski melawan aturan sepak bola universal, Tim Transisi maju
terus tanpa tedeng aling-aling hukum positif negeri ini. Seolah-olah
demi kemajuan sepak bola, tim Transisi sedang mempersiapkan sebuah
turnamen dengan judul Piala Kemerdekaan yang sesungguhnya tak lebih dan
tak kurang adalah turnamen kelas tarkam.
Nah jika sudah begini, kemana masyarakat kita yang katanya gandrung
dengan sepak bola. Akankah sepak bola Indonesia ini terus
diombang-ambingkan oleh retorika kosong dalam episode sinetron yang
seolah-olah (untuk) sepak bola!
Tommy Welly, pengamat sepakbola, tulisan ini dilansir juga dari Bola.com (29 Juli 2015).
No comments:
Post a Comment