Tuesday 4 August 2015

Catatan Tommy Welly: Kisah Sawangan dan FIFA Goal Project






Creating is hardwork, destroying is easy

Begitulah keyakinan seorang maestro sepak bola bernama Johan Cruyff. Ia tidak asal bicara dan berteori. Ucapannya adalah Credo. Sesuatu yang sangat Cruyff yakini kebenarannya dan sudah terbukti. Karirnya di Barcelona baik sebagai pemain (1973-78) maupun pelatih (1988-96) adalah testimoni dari pernyataan tersebut.

Barcelona pun mengamininya. Tanpa Cruyff dibantu asisten setianya Charly Rexach, tidak akan ada Pep Guardiola, Xavi Hernandez, Andres Iniesta maupun Lionel Messi. Sederhananya Cruyff mau mengatakan bahwa kesuksesan Barcelona adalah sebuah proses. Sebuah perjalanan panjang. Bukan pekerjaan mendadak-mendadak dengan hasil instant. Kejayaan Barcelona adalah buah dari ketekunan dan keyakinan akan filosofi sepak bola yang mereka yakini dengan setia selama bertahun-tahun.

Lalu apa kaitannya dengan sepak bola Indonesia? Tahun 2012, ketika Pep Guardiola menyempurnakan mahakarya Cruyff dengan gelar ke-14 nya dalam kurun waktu empat musim (2008-12), sepak bola Indonesia justru tengah babak belur dengan dualisme kompetisi dan federasi.

Bangunan sepak bola Indonesia yang sempat jadi puing-puing berserakan dan abu akhirnya dapat dipersatukan lagi lewat KLB Unifikasi Maret 2013. Sejak itu pula, PSSI mencanangkan spirit kerja keras. Meyakini credo bahwa creating is hard work setelah hancur berantakan dengan mudah lewat liga setengah jalan Indonesia Premier League (IPL). Semoga kita semua tidak gampang jadi pelupa dengan sejarah ini.

Maka dimulailah kerja keras itu. PSSI seolah-seolah kembali dari kilometer nol. Fondasi-fondasi awal untuk membangun sepak bola kembali disiapkan. Memulihkan kepercayaan akan kompetisi, dan mengutamakan pengembangan sepak bola atau football development yang ujungnya adalah untuk peningkatan prestasi timnas menjadi prioritas kerja.

Sayangnya, baru satu tahun semua upaya kerja keras PSSI itu dilakukan, tiba-tiba sepak bola Indonesia kembali dijerumuskan ke dalam konflik internal. Kali ini Menpora lewat BOPI dan tim Transisi mengintervensi PSSI yang akibatnya sangat fatal; Sanksi FIFA terhadap sepak bola Indonesia.

Sejarah terburuk dalam 85 tahun usia PSSI berdiri. Inilah kebenaran dari credo Cruyff bahwa destroying is easy. Sangat mudah. Cukup dalam tempo lima bulan saja, sejak Januari hingga Mei, ketika menpora, BOPI dan tim Transisi terlibat, sepak bola Indonesia langsung terjun bebas. Terjerembab dalam prahara dan kesusahan.

Kerja "Sangkuriang" di Sawangan

Padahal jika saja insan sepak bola Indonesia mau tahu, sebenarnya ada kisah tentang Sawangan yang dapat dianggap mewakili spirit kerja keras PSSI dalam membangun sepak bola. Setahun lalu, tepatnya bulan Mei 2014, kondisi Sawangan yang dulunya training centre klub Pelita Jaya sangat memprihatinkan. Tidak terurus dan kumuh.

Dengan banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, PSSI ingin membangun area Sawangan tersebut untuk dijadikan National Youth Training Centre (NYTC). Sebagai langkah awal, Sawangan harus dirapikan. Kondisinya harus dipulihkan agar layak pakai. Kebetulan saat itu, PSSI butuh tempat dan fasilitas yang layak untuk pelaksanaan kursus kepelatihan C AFC di awal Juni.

Maka ibarat kisah legenda Sangkuriang, dimulailah pekerjaan menyulap Sawangan hanya dalam tempo satu minggu agar siap dijadikan tempat pelaksanaan kursus kepelatihan C AFC. Tepat satu minggu, wajah Sawangan mulai berubah. Lebih bersih dan berbentuk. Dormatori/Asrama, ruang tamu, ruang makan, class room untuk sesi teori dan lapangan bola untuk sesi praktek siap digunakan pada waktunya. Maka jadilah Djadjang Nurjaman (Persib), Joko Susilo (Arema), Tony Ho (Persebaya), I Made Pasek Wijaya (Arema), Salahuddin (Barito Putra) dan rekan-rekan pelatih lain menjadi penghuni Sawangan yang pertamakali sejak difungsikan lagi.

Sejak itu pula Sawangan terus bebenah. Makin hari fasilitas makin dilengkapi. Semua yang tersedia coba dimaksimalkan. Pelatnas timnas kelompok usia muda asuhan Fachri Husaini dkk keluar masuk di Sawangan. Begitu juga pelatnas timnas putri Indonesia sempat ditempa disana. Kursus kepelatihan level AFC sudah delapan kali diselenggarakan termasuk refreshment kepelatihan usia muda dari program bantuan FIFA.

Tapi PSSI tak mampu bekerja sendirian terus. PSSI butuh dukungan dan bantuan pihak lain. Maka diajukanlah proposal FIFA Goal Project berupa bantuan infrastruktur lapangan sintetis/artificial turf untuk latihan timnas.

Untuk mendukung pengajuan proposal FIFA Goal Project ini, PSSI lewat Wakil Ketua Umum nya saat itu La Nyalla M. Mattalitti melakukan pendekatan dan lobi kepada Nirwan Bakrie sebagai pemilik lahan agar PSSI mendapatkan hak pengelolaan atas lahan di Sawangan tersebut. Dan berkat kepedulian dan komitmen yang kuat dari keluarga Bakrie untuk kemajuan sepak bola Indonesia, PSSI akhirnya mendapatkan hak pengelolaan tanah Sawangan seluas 14 hektar selama 20 tahun.

Atas dasar hak pengelolaan itulah, proposal FIFA Goal Project-nya PSSI disetujui FIFA. Dan untuk pertamakalinya dalam sejarah 85  tahun PSSI berdiri, Indonesia akhirnya memperoleh bantuan FIFA Goal Project  berupa lapangan sintetis di NYTC Sawangan seperti yang saat ini terlihat disana.

Lapangan sintetis FIFA Goal Project senilai 499.800 dolar AS ini, adalah bagian dari kerja keras PSSI menyiapkan sarana pendukung atau infrastruktur agar prestasi timnas menjadi lebih baik. PSSI sendiri sama sekali tidak menerima uang tunai sepeser pun dari FIFA untuk goal project ini. Semuanya diatur FIFA langsung mulai dari tender kontraktor sampai pelaksanaannya. Edelgrass kontraktor dari Belanda yang ditunjuk oleh FIFA. PSSI tinggal terima jadi, sama seperti semua negara penerima bantuan FIFA Goal Project lainnya.

Ironisnya, ketika FIFA Goal Project ini sudah terwujud dan terhampar di NYTC Sawangan saat ini, sepak bola Indonesia justru sedang terkena sanksi FIFA akibat intervensi pemerintah. Timnas Indonesia disemua level terpaksa “diliburkan” sebagai konsekuensi dari sanksi FIFA tersebut. Maka tujuan menyiapkan sarana lapangan latihan sintetis ini untuk kebutuhan timnas pun tidak dapat segera diwujudkan.

Tapi apapun kondisinya, inilah salah satu kerja keras dan bukti konkrit  PSSI setahun terakhir mewujudkan harapan insan sepak bola seperti credo, "Creating is hard work.” Bukan filosofi seolah-olah sepak bola yang dalam sekejap saja bisa menghancurkan semuanya, karena seperti Cruyff katakan, destroying is easy!

Tommy Welly, pengamat sepak bola (tulisan ini dilansir dari Harian BOLA edisi 3 Agustus 2015) 

No comments:

Post a Comment